Powered by Blogger.


Saat Anak Merekam Pembicaraan Anda

>> Wednesday 1 April 2009




Selama ini, kita sering menjaga kata-kata yang terucap ketika berhadapan dengan anak, atau saat kita sadar mereka ada di sekitar. Tetapi, tahukah Anda bahwa saat sedang menonton televisi atau membuat PR, anak-anak bisa mendengar obrolan ayah-ibunya (termasuk pertengkaran yang dilakukan sambil berbisik). Dan itu besar maknanya buat anak-anak. Rangkaian kata diserap oleh anak, dan kemudian bisa menjadi salah satu bahan pelajarannya saat berinteraksi dengan orang lain.

"Kata-kata dan gaya bahasa yang terdengar oleh anak saat orang-tua berdiskusi seputar keuangan, masalah anak dengan gurunya, bahkan debat yang panas akan menjadi gambaran ideal bagi mereka. Pola itulah yang akan mereka pakai saat dewasa nanti," kata Michael Spigarelli, MD, PhD., spesialis bidang kesehatan remaja di Cincinnate Children's Hospital Medical Center.

Anna Surti Ariani, Psi, psikolog keluarga, juga menegaskan, anak berusia 6-10 tahun punya otak bak spons, hingga menyerap apa pun, termasuk obrolan orangtua. "Dalam proses ini, anak tidak memilah obrolan yang diserap. Semuanya masuk begitu saja. Kita tidak bisa 'mengerem' mana yang boleh diingat, mana yang tidak," jelasnya.

Saat anak berusia lebih dari 10 tahun, ada filter yang menyerap kata tertentu. Tetapi, orangtua tetap tak bisa mengendalikan. Menurut Spigarelli, bila orang dewasa yang berada di sekitar anak berkomunikasi dengan santun, anak pun tumbuh jadi pribadi yang percaya diri. Penelitian menunjukkan, remaja yang percaya diri dan bisa menghargai diri, mampu mengambil keputusan yang lebih baik dan sehat. Jadi perhatikan kata-kata Anda, terutama dalam empat dialog berikut:

1. Berargumentasi dengan kepala dingin.
Sungguh wajar jika kita dipanggil ke sekolah untuk menyelesaikan masalah anak, misalnya karena sering terlambat atau kurang berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Di saat seperti itu, waspadai segala yang Anda ucapkan nantinya karena bisa digunakan anak sebagai model saat menghadapi atasannya ketika ia dewasa kelak. Ketika berdiskusi dengan guru seputar hukuman atau nilai yang diterima oleh anak, mulailah percakapan dengan hal-hal yang positif, seperti menceritakan bahwa anak kita antusias dalam belajar. Lalu, lanjutkan dengan pertanyaan yang berhubungan dengan inti permasalahan. Misalnya, sudah berapa kali anak terlambat masuk? Bila kritik guru yang bersifat negatif langsung didukung oleh orangtua, anak akan menganggap kritik itu sebagai serangan, dan ia tak punya tempat berlindung, jelas Anna.

2. Pertengkaran sehat.
Sesekali tidak sepakat dengan pasangan itu normal, asalkan saat bertengkar kita bisa memberi kesan bahwa kita tetap menghormati dan mencintai pasangan. Pertengkaran orangtua akan dijadikan pelajaran oleh anak tentang bagaimana berhubungan dengan teman-teman atau pacarnya. "Menyelesaikan pertengkaran dengan baik dan bijak adalah cara terbaik," jelas Anna. "Terutama jika si anak tahu bahwa ujung pertengkaran mengarah pada hal yang baik."
Jika berujung baik, anak akan belajar bahwa pertengkaran itu hal wajar dan ada habisnya. Ia juga paham bahwa pertengkaran adalah salah satu tahap memperbaiki diri, mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik. Meski demikian, Anna menganjurkan agar sebisa mungkin kita tidak bertengkar di depan anak. Bila terlanjur emosi, pastikan anak tahu bahwa akhirnya problem selesai dengan baik. Dengan demikian ia akan jadi orang dewasa yang mampu mengatasi masalahnya dengan baik.

3. Komplain yang asertif.
Saat menunggu makanan di restoran atau mengajukan keluhan seputar pelayanan, seringkali kita dibiarkan saja dalam waktu begitu lama. Akhirnya kita jadi terdorong untuk marah-marah atau mengomel. Tindakan ini tidak memberi pelajaran yang baik pada anak. Menurut Elizabeth Alderman, MD, spesialis bidang pengobatan remaja di Children's Hospital Montefiore New York, kita perlu memberi contoh pada anak bahwa kita punya standar. Jika satu hal tidak tercapai, maka akan ada konsekuensinya. Apa yang harus dilakukan?
Ajukan keluhan Anda dengan cara yang asertif, yaitu dengan tegas tanpa harus memaki-maki. Minta pertanggungjawaban atas keterlambatan pada pihak yang seharusnya menerima komplain tersebut, saran Anna. Hindari gaya yang submisif, seperti mengomel sendiri atau menceritakan keluhan pada orang lain yang tidak seharusnya menerima komplain itu.

4. Minta maaf dengan tulus.
Saat pulang kerja dalam keadaan capek dan stres, Anda mendapati rumah begitu berantakan. Anda naik darah dan menghardik anak-anak dengan keras. Memang, akhirnya mereka membereskan rumah, tetapi setelah itu suasana jadi sangat hening dan kaku. Anda sadar kalau telah bereaksi berlebihan. Pertanyaannya: haruskah Anda minta maaf karena telah bersikap demikian?
Kenapa tidak? Mendengar Anda minta maaf adalah hal yang penting bagi anak remaja. "Saat anak menyaksikan orangtua memaafkan orang lain atau minta maaf pada anaknya sendiri, ia pun belajar bahwa minta maaf adalah keterampilan sosial untuk memulihkan hal yang semula tak benar," kata Anna. Kata maaf bisa mencairkan suasana tak enak. Bila orangtua mau minta maaf pada anaknya, anak jadi lebih bisa menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Cara minta maaf asal-asalan yang kerap kita lakukan bagi mereka sama saja seperti meremehkan arti kata maaf sendiri. Dari situ anak jadi berpikir, lebih baik tidak usah minta maaf saja! Akhirnya mereka tidak menarik pelajaran apa-apa.


Sumber: Kompas

tags: cara berbicara di depan anak, anak merekam pembicaraan orang tua, orang tua minta maaf pada anak, pertengkaran yang sehat.

8 comments:

kakara 4 April 2009 at 12:45  

Informasi yang sangat bagus.. sering orang tua tidak menyadarinya..
Thanks For Sharing my friend :)

Unknown 4 April 2009 at 22:51  
This comment has been removed by the author.
Unknown 4 April 2009 at 22:53  

info yang sangat bagus mbak, walaupun saya belum punya anak sih..tapi persiapan untuk masa depan.. hehehe..
oh iya.. saya berikan award untuk blog ini silakan dilihat di www.pipos.co.cc dan di www.kakipalsu.co.cc silakan diambil awardnya

maaf komentar sebelumnya saya hapus karena kesalahan penulisan..

BusinessMan 5 April 2009 at 03:20  

anak mempunyai daya modeling yang sangat besar pada saat masa perkembanganya,jadi hati-hati jika perilaku orangtua tidak ingin ditiru oleh anak.ada posting baru,berkunjung ya...

Semar Badranaya 5 April 2009 at 15:27  

mantav...

betul semua itu mba.... ing ngarso sing tulodo (bener ga mba hehehehe...)

PS Holic 5 April 2009 at 18:04  

justru orang tua yang mampu mencurahkan sesuatu seperti ini lah yg lebih di apresisi :) jempolan nih tulisan :)

Admin 6 April 2009 at 13:07  

fotonya keren mbak....

MONOKROM 24 April 2010 at 14:29  

wow, share yang sungguh bermanfaat.

Post a Comment

* Terima kasih sudah berkunjung ke seputarduniaanak.blogspot.com
* Maaf, komentar ditutup

  © Seputar Dunia Anak Since February 14, 2009

Privacy Policy | Back to TOP  

Please Visit Again!